Hukum islam adalah
ikhtisar pemikiran islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim,
serta merupakan inti dari sari pati islam itu sendiri. Harus diakui bahwa
penekanan-penekanan teologis dalam sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist tentang
keharusan mematatuhi hukum membuat umat islam menempatkan hukum pada posisi
yang dipentingkan dalam kebudayaannya. Oleh karena itu, dari sudut historis
dapat dikatakan bahwa hukum islam adalah salah satu warisan cultural umat islam
yang penting.
Pada saat ini umat islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi
kontemporer, akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan IPTEK
(ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Dalam kehidupan kontemporer sekarang,
khususnya tiga dasawarsa terakhir, hukum islam terutama dibidang keperdataan
semakin mempunyai arti penting, terutama dengan lahirnya apa yang disebut
ekonomi, perbankan dan asuransi, yang erat kaitannya dengan hukum muamalat.
Perkembangan institusi-institusi baru tersebut secara nyata mendorong
pengembangan fiqh muamalah sebagai landasan yang memberikan kerangka acuan
terhadap lembaga-lembaga tersebut dari sudut syar’i.
Permasalahannya adalah
bagaimana hukum islam sebagaimana misalnya dalam masalah asuransi dapat
dikembangkan sehingga mampu memberikan jawaban atas kenyataan actual persoalan
ekonomi. Belakangan, para ahli fiqh kontemporer memandang bahwa aspek yang
perlu digali dai hukum muamalat itu adalah asas-asas hukumnya bukan
aturan-aturan detail.
A. SYARAT-SYARAT SAH
ASURANSI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
Asuransi merupakan salah
satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka
ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga
perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus,
maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga
syarat-syarat Khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah perjanjian
diatur dalam pasal 1320 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal tersebut ada empat
syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat,
objek tertentu, dan kausa yang halal. Sedangkan syarat yang diatur dalam KUHD
adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD.
1.Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan
penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada
pokoknya meliputi:
Benda yang menjadi objek
asuransi.
Pengalihan risiko dan
pembayaran premi.
Evenemen dan ganti
kerugian
Syarat-syarat khusus
asuransi
Dibuat secara tertulis
yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian
antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara
tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan
perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya
kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara.
Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal
260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang
makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8
(delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang
No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan
usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang
berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara
tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di
bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat
menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2
Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus
didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi
Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat
secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini
dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan
atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara
bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan
penanggungnya.
2. Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung
dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang.
Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat
objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan,
tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang kuasa
yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan sah dengan
benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milknya sendiri.
Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan Asuransi
berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk
kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat
kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.
Kewenangan pihak
tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan
perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan
Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung,
misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga.
Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung
dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya
atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
3. Objek Tertentu (fixed
object)
Objek tertentu dalam
Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta
kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa
jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian
sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian
Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi
tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa
jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya
dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya,
apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang
mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan
langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan
langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga
yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila
tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus
dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan
atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak
dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak
mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and
void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang
mengadakan asuransi tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau
pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan
objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu
diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada.
Menurut ketentuan Pasal
599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang
mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan, dan
kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan
juga, maka asuransi tersebut batal.
4. Kausa yang Halal
(legal cause)
Kausa yang halal
maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan
benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda
tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama
dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang
halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah
beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi.
Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung
menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko
beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
5. Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib
memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini
dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat
hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan
yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh
tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban
pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi
pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan
Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari
tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga
mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah
memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas
dalam polis dengan kalusula”sudah diketahui”.
B. SYARAT – SYARAT
SAH ASURANSI SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM
Ada delapan asas yang
mendasari akad secara umum, yang harus dilindungi dan dijamin yaitu :
a. Rela sama rela (ridha‟iyyah) ;
b. Manfaat bagi bank dan
nasabah ;
c. Keadilan dalam arti
yang luas ;
d. Saling menguntungkan ;
e. Kebebasan berkontrak ;
f. Kepastian hukum ;
g. Itikad baik dalam
berbisnis ;
h. Tradisi ekonomi
masyarakat.
Sedangkan azaz kebebasan
berkontrak dalam lembaga keuangan syari’ah sebagaimana yang diatur dalam
konsep-konsep hukum bisnis Islam (fiqh mu‟amalah) adalah sebagai
berikut :
(1) Hukum
kontrak bersifat hukum mengatur.
Sebagaimana diketahui
bahwa hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu :
a. Hukum Memaksa (dwigend
recht, mandatory law), dan
b. Hukum Mengatur (aanvullen
recht, optional law).
Hukum tentang kontrak
pada prinsipnya tergolong ke dalam hukum mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut
baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam
berkontrak mengaturnya secara lain dariyang diatur dalam hukum kontrak, maka
yang berlaku adalah apa yang diatursendiri oleh para pihak tersebut kecuali
undang-undang menentukan lain.
(2) Azaz kebebasan
berkontrak.
Salah satu azaz dalam
hukum kontrak Islam adalah azaz kebebasan kontrak (freedom of contract).
Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak
tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
Memenuhi syarat sebagai
suatu kontrak ;
a. Tidak dilarang oleh
peraturan syari’at atau undang-undang ; Maksudnya bahwa kontrak yang diadakan
oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab kontrak yang bertentangan dengan
ketentuan hukum syara’ adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada
kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan kontrak
tersebut atau dengan perkataan lain apabila isi kontrak itu merupakan perbuatan
yang melawan hukum, maka kontrak diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Dasar hukum tentang pembatalan kontrak yang melawan hukum ini dapat dirujuki
b. Sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku ;
c. Sepanjang kontrak
tersebut dilaksanakan dengan itikad baik ; Kontrak diadakan oleh para pihak
haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, dimana masing-masing
pihak ridla / rela akan isi kontrak tersebut dan merupakan kehendak bebas
masing-masing pihak sehingga masing-masing pihak mempunyai itikad baik untuk
menepati kontrak tersebut. Azaz kebebasan berkontrak ini perlu karena ia
merupakan refleksi dari sistem terbuk
(open system) dari
hukum kontrak tersebut.
(3) Azaz
janji mengikat.
Azaz ini mengajarkan
bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan
hukum yang penuh. Dalam
hukum positif azaz ini dikenal dengan azaz pacta sunt servanda (janji
itu mengikat). Setiap janji merupakan utang harus dibayar.
(4) Azaz
konsensual dari suatu kontrak.
Kontrak dalam lembaga
keuangan syari’ah juga mengatur asas konsensual. Maksudnya adalah bahwa suatu
kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama
syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sudah dipenuhi. Jadi dengan adanya kata
sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai
akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban di
antara para pihak. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak
diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun sebenarnya sah-sah saja
menurut hukum.
Namun pada dasarnya
setiap kontrak yang dibuat dalam lembaga keuangan syari’ahdisyaratkan harus
dibuat dalam bentuk tertulis, atau bahkan harus dibuat oleh atau di hadapan
pejabat tertentu, sehingga disebut dengan kontrak formal. Ini merupakan
pengecualian dari prinsip umum tentang azaz konsensual tersebut. Hal mana dapat
konsep azaz konsensual ini dapat dilihat dalam ayat yang berkaitan dengan
masalah konteks mu’amalah QS al Baqarah ayat 282 :
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Dari pengertian ayat ini
maka dapat diambil beberapa hukumhukum
dalam kontrak yaitu :
Jika terjadi terjadi
sebuah kontrak, hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya,
termasuk waktu pembayarannya.
Dalam mengadakan kontrak
hendaknya dilaksanakan secara tertulis, diperkuat oleh dua orang saksi.
Jika terjadi kontrak
lisan tidaklah diperlukan catatan atau tulisan sehingga tidak terjadi beban
bagi kedua belah pihak.\
Penulis di sini juga
dapat diartikan dengan seorang penulis (notaris) yang beriman, bertaqwa dan
adil.
Bahwa Islam menganjur
adanya ketatalaksanaan atau yang dikenal dalam hukum positif dengan sebutan
Admnistrasi Niaga.
(5) Azaz
obligator dari suatu kontrak.
Menurut hukum kontrak,
suatu kontrak bersifat obligator, maksudnya adalah setelah sahnya suatu
kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan
hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak dan
kewajiban belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik,
diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaaan(zakelijke overeenkomst).
Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan
(leving).
(6) Azaz
jelas dan gamblang.
Maksudnya apa yang
dikontrakan oleh para pihak harus terang sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya kesalahpahaman atau terdapat jangan sampai terjadi multi tafsir di
antara para pihak tentang apa yang telah mereka sepakati di kemudian hari.
Dengan demikian pada saat pelaksanaan / penerapan kontrak masing-masing pihak
yang mengadakan kontrak haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa
yang telah mereka sepakati, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan
oleh kontrak tersebut.
Dalam asuransi syariah
syarat – syarat sah dalam melakukan kontrak perjanjian asuransi mencakup tidak
hanya menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia,
dalam hal ini pasal 1320 KUHPerdata(terlampir) dan Pasal 251 KUHD (terlampir),
tetapi juga harus memperhatikan aspek – aspek syariah, yang dalam hal ini telah
diatur oleh Fatwa DSN NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah(terlampir) serta bagaimana hukum-hukum fiqh yang telah ditetapkan
para imam mazhab.
Dalam hukum perjanjian
islam, syarat perjanjian (aqad) dibagi menjadi dua.
Pertama: syarat adanya
(terbentuknya) akad (Surut al-inighat), yaitu dimana apabila syarat ini tidak
dipenuhi akad tidak ada atau tidak terbentuk dan akadnya disebut batal. Kedua:
syarat sahnya akad, yaitu syarat dimana apabila tidak terpenuhinya lanta
perjanjian itu tidak ada atau tidak berbentuk. Bisa saja akadnya ada dan telah
terbentuk karena syarat adanya (terbentuknya) telah terpenuhi, hanya saja akad
dianggap belum sempurna dan masih memiliki kekurangan dan dalam keadaan
demikian akad tersebut oleh para ahli hukum hanafi disebut dengan akad Fasid
dan harus dibatalkan.
Syarat syahnya ada lima
macam yaitu:
1. Tidak ada paksaan,
2. Tidak menimbulkan
kerugian (darar),
3. Tidak mengandung
ketidakjelasan (garar),
4. Tidak mengandung riba,
dan
5. Dan tidak mengandung
syarat Fasid.
Apabila syarat ada , dan
syarat sahnya akad telah terpenuhi, maka akad tersebut tergolong akad yang sah.
Namun akad sah itu dari segi kekuatan hukumnya masih dibedakan lagi menjadi:
(1) akad Mauquf, yaitu akad yang tergantung kepada ijin pihak ketiga, misalnya
wali dalam kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya; (2). Akad Nafis,
yaitu akad yang didalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak; dan (3).
Akad lazim, yang merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bias
melahirkan akibat hukum penuh, dimana tidak lagi tergantung kepada ijin pihak
ketiga atau tidak lagi mengandung unsure khiyar salah satu pihak. Dalam
kerangka terpenuhinya criteria sayarat sahnya perjanjian dalam islam, maka
prinsip-prinsip hukum asuransi ditepatkan sebagai akad yng lazim. Jadi apabila
perjanjian asuransi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut perjanjian
asuransi tidak sah sebagaimana keduduka syarat sah perjanjian dalam hukum
islam.
Prinsip-prinsip hukum asuransi tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki
akad, bahkan sebaliknya dapat menguatkan terwujudnya apa yang dikehendaki akad
itu sendiri. Karena syarat tersebut akan lebih memantapkan perjanjian dari
unsure-unsur yang dilarang syara’. Adanya prinsip-prinsip asuransi tersebut
tidak bertentangan dengan Nass. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan
dalil Nass yang tegas atau prinsip syariat adalah syarat yang diperbolehkan.
0 komentar
Posting Komentar