Senin, 16 Januari 2012

Syarat Sah Perjanjian Asuransi


Hukum islam adalah ikhtisar pemikiran islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim, serta merupakan inti dari sari pati islam itu sendiri. Harus diakui bahwa penekanan-penekanan teologis dalam sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist tentang keharusan mematatuhi hukum membuat umat islam menempatkan hukum pada posisi yang dipentingkan dalam kebudayaannya. Oleh karena itu, dari sudut historis dapat dikatakan bahwa hukum islam adalah salah satu warisan cultural umat islam yang penting.

Pada saat ini umat islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Dalam kehidupan kontemporer sekarang, khususnya tiga dasawarsa terakhir, hukum islam terutama dibidang keperdataan semakin mempunyai arti penting, terutama dengan lahirnya apa yang disebut ekonomi, perbankan dan asuransi, yang erat kaitannya dengan hukum muamalat. Perkembangan institusi-institusi baru tersebut secara nyata mendorong pengembangan fiqh muamalah sebagai landasan yang memberikan kerangka acuan terhadap lembaga-lembaga tersebut dari sudut syar’i.


Permasalahannya adalah bagaimana hukum islam sebagaimana misalnya dalam masalah asuransi dapat dikembangkan sehingga mampu memberikan jawaban atas kenyataan actual persoalan ekonomi. Belakangan, para ahli fiqh kontemporer memandang bahwa aspek yang perlu digali dai hukum muamalat itu adalah asas-asas hukumnya bukan aturan-aturan detail.

A. SYARAT-SYARAT SAH ASURANSI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat  Khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal tersebut ada empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Sedangkan syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD.

1.Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
Benda yang menjadi objek asuransi.
Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
Evenemen dan ganti kerugian
Syarat-syarat khusus asuransi
Dibuat secara tertulis yang disebut polis.

Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.

Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.

2. Kewenangan (authority)

Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milknya sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.

Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.

3. Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.

Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.

Apabila tertanggung tidak dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang mengadakan asuransi tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada.

Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan, dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.

4. Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.

Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.

5. Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.

Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan kalusula”sudah diketahui”.
B. SYARAT – SYARAT SAH ASURANSI SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM
Ada delapan asas yang mendasari akad secara umum, yang harus dilindungi dan dijamin yaitu :
a. Rela sama rela (ridha‟iyyah) ;
b. Manfaat bagi bank dan nasabah ;
c. Keadilan dalam arti yang luas ;
d. Saling menguntungkan ;
e. Kebebasan berkontrak ;
f. Kepastian hukum ;
g. Itikad baik dalam berbisnis ;
h. Tradisi ekonomi masyarakat.
Sedangkan azaz kebebasan berkontrak dalam lembaga keuangan syari’ah sebagaimana yang diatur dalam konsep-konsep hukum bisnis Islam (fiqh mu‟amalah) adalah sebagai berikut :
(1)   Hukum kontrak bersifat hukum mengatur.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu :
a. Hukum Memaksa (dwigend recht, mandatory law), dan
b. Hukum Mengatur (aanvullen recht, optional law).
Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong ke dalam hukum mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam berkontrak mengaturnya secara lain dariyang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatursendiri oleh para pihak tersebut kecuali undang-undang menentukan lain.
(2)   Azaz kebebasan berkontrak.
Salah satu azaz dalam hukum kontrak Islam adalah azaz kebebasan kontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak ;
a. Tidak dilarang oleh peraturan syari’at atau undang-undang ; Maksudnya bahwa kontrak yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum syara’ adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan kontrak tersebut atau dengan perkataan lain apabila isi kontrak itu merupakan perbuatan yang melawan hukum, maka kontrak diadakan dengan sendirinya batal demi hukum. Dasar hukum tentang pembatalan kontrak yang melawan hukum ini dapat dirujuki
b. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku ;
c. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik ; Kontrak diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, dimana masing-masing pihak ridla / rela akan isi kontrak tersebut dan merupakan kehendak bebas masing-masing pihak sehingga masing-masing pihak mempunyai itikad baik untuk menepati kontrak tersebut. Azaz kebebasan berkontrak ini perlu karena ia merupakan refleksi dari sistem terbuk
(open system) dari hukum kontrak tersebut.
(3)   Azaz janji mengikat.
Azaz ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan
hukum yang penuh. Dalam hukum positif azaz ini dikenal dengan azaz pacta sunt servanda (janji itu mengikat). Setiap janji merupakan utang harus dibayar.
(4)   Azaz konsensual dari suatu kontrak.
Kontrak dalam lembaga keuangan syari’ah juga mengatur asas konsensual. Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sudah dipenuhi. Jadi dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun sebenarnya sah-sah saja menurut hukum.
Namun pada dasarnya setiap kontrak yang dibuat dalam lembaga keuangan syari’ahdisyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau bahkan harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat tertentu, sehingga disebut dengan kontrak formal. Ini merupakan pengecualian dari prinsip umum tentang azaz konsensual tersebut. Hal mana dapat konsep azaz konsensual ini dapat dilihat dalam ayat yang berkaitan dengan masalah konteks mu’amalah QS al Baqarah ayat 282 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dari pengertian ayat ini maka dapat diambil beberapa hukumhukum
dalam kontrak yaitu :
Jika terjadi terjadi sebuah kontrak, hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya, termasuk waktu pembayarannya.
Dalam mengadakan kontrak hendaknya dilaksanakan secara tertulis, diperkuat oleh dua orang saksi.
Jika terjadi kontrak lisan tidaklah diperlukan catatan atau tulisan sehingga tidak terjadi beban bagi kedua belah pihak.\
Penulis di sini juga dapat diartikan dengan seorang penulis (notaris) yang beriman, bertaqwa dan adil.
Bahwa Islam menganjur adanya ketatalaksanaan atau yang dikenal dalam hukum positif dengan sebutan Admnistrasi Niaga.
(5)   Azaz obligator dari suatu kontrak.
Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator, maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak dan kewajiban belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaaan(zakelijke overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan
(leving).
(6)   Azaz jelas dan gamblang.
Maksudnya apa yang dikontrakan oleh para pihak harus terang sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau terdapat jangan sampai terjadi multi tafsir di antara para pihak tentang apa yang telah mereka sepakati di kemudian hari. Dengan demikian pada saat pelaksanaan / penerapan kontrak masing-masing pihak yang mengadakan kontrak haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa yang telah mereka sepakati, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh kontrak tersebut.
Dalam asuransi syariah syarat – syarat sah dalam melakukan kontrak perjanjian asuransi mencakup tidak hanya menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia, dalam hal ini pasal 1320 KUHPerdata(terlampir) dan Pasal 251 KUHD (terlampir), tetapi juga harus memperhatikan aspek – aspek syariah, yang dalam hal ini telah diatur oleh Fatwa DSN NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah(terlampir) serta bagaimana hukum-hukum fiqh yang telah ditetapkan para imam mazhab.
Dalam hukum perjanjian islam, syarat perjanjian (aqad) dibagi menjadi dua.
Pertama: syarat adanya (terbentuknya) akad (Surut al-inighat), yaitu dimana apabila syarat ini tidak dipenuhi akad tidak ada atau tidak terbentuk dan akadnya disebut batal. Kedua: syarat sahnya akad, yaitu syarat dimana apabila tidak terpenuhinya lanta perjanjian itu tidak ada atau tidak berbentuk. Bisa saja akadnya ada dan telah terbentuk karena syarat adanya (terbentuknya) telah terpenuhi, hanya saja akad dianggap belum sempurna dan masih memiliki kekurangan dan dalam keadaan demikian akad tersebut oleh para ahli hukum hanafi disebut dengan akad Fasid dan harus dibatalkan.
Syarat syahnya ada lima macam yaitu:
1. Tidak ada paksaan,
2. Tidak menimbulkan kerugian (darar),
3. Tidak mengandung ketidakjelasan (garar),
4. Tidak mengandung riba, dan
5. Dan tidak mengandung syarat Fasid.
Apabila syarat ada , dan syarat sahnya akad telah terpenuhi, maka akad tersebut tergolong akad yang sah. Namun akad sah itu dari segi kekuatan hukumnya masih dibedakan lagi menjadi: (1) akad Mauquf, yaitu akad yang tergantung kepada ijin pihak ketiga, misalnya wali dalam kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya; (2). Akad Nafis, yaitu akad yang didalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak; dan (3). Akad lazim, yang merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bias melahirkan akibat hukum penuh, dimana tidak lagi tergantung kepada ijin pihak ketiga atau tidak lagi mengandung unsure khiyar salah satu pihak. Dalam kerangka terpenuhinya criteria sayarat sahnya perjanjian dalam islam, maka prinsip-prinsip hukum asuransi ditepatkan sebagai akad yng lazim. Jadi apabila perjanjian asuransi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut perjanjian asuransi tidak sah sebagaimana keduduka syarat sah perjanjian dalam hukum islam.
Prinsip-prinsip hukum asuransi tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, bahkan sebaliknya dapat menguatkan terwujudnya apa yang dikehendaki akad itu sendiri. Karena syarat tersebut akan lebih memantapkan perjanjian dari unsure-unsur yang dilarang syara’. Adanya prinsip-prinsip asuransi tersebut tidak bertentangan dengan Nass. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan dalil Nass yang tegas atau prinsip syariat adalah syarat yang diperbolehkan.



Narasumber:

Artikel Terkait

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply
W E L C O M E